Tuesday, November 27, 2007

Exit Interviw (EI)

1. Exit interview akan berguna bila karyawan melakukannya dengan keterbukaan, kejujuran dan semangat untuk membantu (perusahaan) memperbaiki diri, sehingga informasi yang didapatkan akan berguna. Walaupun bisa saja dilakukan, namun tujuan ini relatif akan tidak mudah untuk dicapai bila karyawan mengundurkan karena terpaksa, misalnya dipecat, karena umumnya faktor emosi yang terlibat. Selain itu, perusahaan tentu perlu lebih berhati-hati menilai objektifitas dari masukan yang diberikan oleh karyawan yang "bermasalah". Dengan demikian, dapat dimengerti bila Exit Interview tidak dilakukan untuk karyawan yang dikeluarkan secara resmi dari perusahaan karena melakukan pelanggaran.

2. Karyawan meninggalkan perusahaan itu kan karena ada sesuatu yang mempengaruhi motivasi mereka untuk bekerja yang tidak terpenuhi di tempat kerja saat ini� -- dan diharapkan dapat dipenuhi di tempat lain. Pandangan atau ketidak-puasan karyawan atas faktor-faktor inilah yang mungkin bisa dipelajari ketika dilakukan wawancara/survei exit interview. Dari berbagai model motivasi yang ada, faktor-faktor ini antara lain: kompensasi/gaji (alasan yang cukup umum), kesempatan berlatih, berkembang dan membangun karir di dalam perusahaan, kepemimpinan, komunikasi dan budaya kerja, suasana kerja/hubungan kerja antar karyawan, lingkungan kerja (fisik), kecocokan antara pekerjaan dan pekerja, arah perkembangan perusahaan dan lain-lain.

Sebaiknya tidak menanyakan "alasan masuk" di dalam exit interview untuk beberapa alasan berikut:. Pertama, ini dapat memberikan kesan bahwa perusahaan tidak mengenal si pegawai secara mendalam selama ini dan tidak memperlihatkan hubungan yang erat antara pegawai dan perusahaan. Pertanyaan ini sebaiknya ditanyakan ketika karyawan bergabung. Kedua, tidak mudah untuk pegawai mengingat kembali alasan mereka masuk, terutama ketika mereka sudah berada di perusahaan selama belasan atau puluhan tahun. Ketiga, ini masalah istilah saja, karena namanya "exit interview", kita sebaiknya menanyakan alasan "keluar" dan bukan "masuk".

3. Pegawai yang keluar umumnya sudah merasa tidak memiliki kewajiban lagi terhadap perusahaan, termasuk menjawab dengan jujur dan terbuka mengenai alasan mereka keluar. Status mereka sama seperti masyarakat umum di luar perusahaan yang sedang dimintai pendapat mengenai bagaimana memperbaiki perusahaan. Sehingga perusahaan perlu menciptakan suasana agar pegawai merasa terbuka, jujur dan dihargai dalam memberikan masukan. Untuk itu, perlakukan pegawai yang keluar sebagai aset perusahaan yang hilang (bila pimpinan organisasi sering mengatakan bahwa SDM adalah aset terpenting perusahaan, inilah salah-satu waktunya dimana mereka perlu membuktikan kata-kata tersebut).

Lakukan Exit Interview dalam suasana santai namun sungguh-sungguh karena perusahaan saat itu sedang berusaha mendapatkan masukan penting bagi perbaikan. Perlakukan proses Exit Interview, sebagaimana proses interview ketika pegawai melamar bekerja. Alokasikan waktu khusus untuk ini. Libatkan pegawai senior di dalam interview, dan jangan serahkan proses exit interview pada pegawai junior karena pengalaman mereka yang belum cukup di dalam organisasi, serta hal ini akan membuat si pegawai yang keluar merasa tidak dihargai. Sampaikan terima-kasih yang sungguh-sungguh untuk waktu dan berbagai informasi yang diberikan. Perusahaan tentu menginginkan pegawai yang baik dan berprestasi untuk bergabung dengannya, sehingga kesan yang baik mengenai perusahaan tetap perlu diperlihatkan bahkan ketika pegawai meninggalkan perusahaan sekalipun. Siapa tahu dengan demikian pegawai tersebut memutuskan untuk bergabung kembali di kemudian hari.

(Rei-MTI)

Pengembangan SDM

Ada dua pertanyaan yang muncul dari pertanyaan Ibu. Satu mengenai perencanaan program training dan yang lain mengenai "reward and punishment".

Tujuan akhir pengadaan training adalah meningkatkan kompetensi pegawai sehingga organisasi secara keseluruhan dapat mencapai tujuan-tujuan bisnisnya. Akibatnya, training apapun yang dijalankan di dalam organisasi HARUS memiliki benang-merah dengan apa yang ingin dicapai oleh organisasi. Tanpa adanya benang-merah yang jelas tersebut, training hanya menjadi pemborosan biaya bagi perusahaan.

Sebagai contoh, apakah perusahaan Ibu Dewi memberikan pelatihan "Bagaimana Mengendarai Mobil di Jalan Licin (Safety Driving)" kepada pegawai-pegawai di perusahaan Ibu? Mengapa tidak dan mengapa ya?

Kalau perusahaan Ibu bergerak di industri dimana pegawai memerlukan pengetahuan dan keahlian berkendaraan di jalan yang licin, seperti di lapangan minyak misalnya, maka pelatihan tersebut menjadi relevan. Namun kalau tidak, maka pelatihan tersebut tidak hanya akan memboroskan uang perusahaan, namun juga tidak membantu pegawai dan organisasi mencapai tujuan-tujuan organisasinya. Dengan demikian, pengembangan program training sebaiknya dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut:

1. Mengklarifikasi terlebih dahulu apa yang ingin dicapai oleh organisasi,

2. Menetapkan kemampuan (kapabilitas) organisasi seperti apakah yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi tersebut,

3. Menetapkan kompetensi apakah yang diperlukan oleh setiap jabatan di dalam organisasi untuk membangun kapabilitas organisasi dan akhirnya mencapai tujuan organisasi di atas.

4. Tentukan gap (kesenjangan) yang ada antara tingkat kompetensi yang dibutuhkan dari jabatan-jabatan yang ada dengan tingkat kompetensi pegawai (orang yang memegang jabatan)

5. Tentukan program pelatihan apakah yang diperlukan untuk memperkecil gap yang ada.

6. Lakukan evaluasi atas efektivitas dari program training yang diberikan

Dengan mengikuti langkah-langkah tersebut, perencanaan training akan memiliki dasar yang kuat untuk dijalankan.

Kedua, konsep "reward and punishment" itu cukup luas cakupannya. Secara singkat, ini adalah istilah yang menggambarkan hubungan antara "reward" atau "punishment" yang diberikan kepada pegawai sesuai dengan "performance" (kinerja) nya. Semakin baik kinerja pegawai, semakin besarlah "reward" (bonus, insentif, kenaikan gaji, promosi) yang didapatkan. Demikian juga sebaliknya, semakin kurang baik kinerja seorang pegawai semakin besarlah "punishment" yang didapatkan, misalnya bonus/insentif yang lebih kecil, tidak adanya promosi atau bahkan adanya mutasi. Karena arti dari kata "punishment" terdengar terlalu "keras" untuk menggambarkan hubungan antara pegawai dan perusahaan, saya pribadi lebih sering menggunakan istilah "pay-for-performance" dibandingkan "reward and punishment".

(Irwan Rei-MTI)