Thursday, March 27, 2008

Perjalanan menembus awan Gunung Sumbing

Liburan 4 hari, harus diisi dengan sesuatu yang menyenangkan. Jadilah rencana jalan-jalan ke Wonosobo-Magelang. Tempat yang disinggahi adalah Gunung Sumbing dan Sungai Elo, serta beberapa tempat singgah untuk menginap.
Satu hal yang membuat mata saya kembali terpana, adalah hamparan hijau tanaman padi, semerbak bau tanah pedesaan yang kurindukan, hembusan semilir sejuknya angin pedesaan, dan ramahnya suasana pedesaan. Sungguh sesuatu hal yang sangat membuat rindu siapapun.
Perjalanan dimulai pada hari Kamis sore, 20 Maret 2008, setelah pagi harinya ikut umpel-umpelan ngantri tiket ke Wonosobo. Akhirnya dapatlah tiket Bis Sinar Jaya kelas bisnis seharga Rp. 65.000,00. Rombongan saya adalah Nurhaeni "Pitik" 768 sebagai ketua Tim, sedangkan anggota tim adalah saya sendiri 736, Bustanul "Butho" 757, Anggi "Gobog" 787, Daris "Dosko" 802, dan Non-Stapala Yudho dari DJP.
Perjalanan dimulai jam 14.00 ke Lebak Bulus dengan nyarter D09 dari Kampus STAN Bintaro, biaya Rp. 35.000,00. Nih pict-nya waktu kami nunggu angkot yang mau di-carter:

Setelah menunggu lumayan lama, akhirnya kami memutuskan masuk aja ke angkot yang lumayan kosong, kemudian dibajak untuk sampai ke Lebak Bulus, hahahahaha. Seruu... Apalagi abang sopirnya ga mau ditawar Rp 30.000

Di sepanjang jalan pun terjadi transaksi untuk bea perjalanan ke Wonosobo. Tempat singgah yang hendak dituju. Dan beberapa hal kecil lainnya, seperti ngecengin pak Dosko...hahahahaha.

Sesampainya di Lbk Bulus, langsung kami mencari loket tiket bis, karena tiket kami ternyata tidak dicantumkan nopol kendaraan, kan jadi bingung...


Ini waktu di Lbk Bulus














Ktika nyampe di Terminal Wonosobo jam 5.00, masih sempet buat Sholat subuh. Trus lanjut ke base camp Sumbing. Kek gini nih basecampnya, bersih banget, ada 4 WC dan 3 KM.

inilah sang ketua Tim di depan base camp

setelah istirahat dan sholat Jumat di desa terakhir, kami bersiap berangkat;

Smua make raincoat, tak terkecuali sang fotografer sendiri karena hujan mengguyur sejak siang sampai berangkatpun masih hujan






Perjalanan pun dimulai...akankah kawanan pemuda tampan ini berhasil mencapai puncak Gunung Sumbing?? Nantikan kisah selanjutnya....

Tuesday, March 18, 2008

Mengurangi Polutan Udara dengan Tanaman

Dikutip dari Kompas, 9 Desember 2007:

oleh: Lusiana Indriasari

Masyarakat perkotaan sering kali kesulitan menanam tanaman di sekitar rumah karena keterbatasan lahan. Padahal, tanaman memiliki banyak fungsi ekologis yang menguntungkan manusia.

Tanaman bermanfaat memperbaiki kualitas udara melalui proses fotosintesis yang mengubah karbon dioksida (CO2) menjadi oksigen (O2). Tanaman juga dapat menurunkan suhu udara di sekitar rumah.

Beberapa ahli lingkungan menyebutkan, setiap satu hektar lahan hijau dapat mengubah 3,7 ton CO2 dari aktivitas manusia, pabrik, dan kendaraan bermotor menjadi dua ton O2 yang dibutuhkan manusia.

Namun ironisnya, sebagian orang justru menebangi pohon di depan rumah dengan berbagai alasan. Di sebuah kawasan perumahan di Tangerang, misalnya, warga menebangi pohon perindang yang ditanam di depan rumah oleh pengembang. Warga juga tidak banyak menanam tanaman meski masih punya sedikit halaman untuk ditanami.

Siti Nurisyah, dosen Departemen Arsitektur Lansekap, Institut Pertanian Bogor, mengungkapkan, lahan sempit memang selalu menjadi alasan masyarakat perkotaan untuk tidak menanam pohon. Padahal, sebetulnya lahan sempit itu bisa disiasati dengan berbagai macam cara. "Bahkan gang-gang sempit pun sebenarnya masih bisa ditanami pohon dengan menggunakan pot," kata Nurisyah.

Lahan sempit

Menanam pohon di halaman rumah yang sempit jelas sulit dilakukan bagi mereka yang tinggal di perkotaan. Karena jarak halaman dengan rumah berdekatan, akar pohon sering kali merusak bangunan.

Untuk itu, pemakaian pohon bisa diganti dengan tanaman taman atau tanaman lanskap. "Tanaman hias atau pohon sama pentingnya. Yang paling dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas udara adalah daunnya untuk fotosintesis," kata Nurisyah.

Soal lahan, apabila tidak memungkinkan, tanaman bisa ditanam di dalam pot. Pot yang digunakan tidak perlu pot yang bagus, tetapi bisa menggunakan ember bekas, bekas kaleng cat, dan lain-lain. Pot-pot ini lalu didekatkan satu sama lain agar tanaman menjadi rimbun.

Tanaman dalam pot juga bisa diletakkan di atas atap rumah yang diperkuat dengan beton atau biasa disebut roof garden atau taman atap. Beberapa rumah di Jakarta sudah memodifikasi atapnya menjadi taman atap dengan tanaman hias. Semua bangunan tinggi di kota besar, seperti hotel, apartemen, dan gedung perkantoran sebaiknya mulai membuat taman atap.

Yang banyak dilupakan orang adalah tanaman rambat. Tanaman rambat juga bisa digunakan untuk menyiasati lahan yang sempit. Tanaman rambat bisa menjalar di dinding, di pagar, di atap pergola, bahkan bisa dililitkan di batang pohon atau tiang listrik.

Nurisyah juga menganjurkan agar semua pagar rumah diberi tanaman. Tanaman yang bisa digunakan untuk tanaman pagar adalah dari jenis tanaman semak-semak atau perdu. Tanaman pagar seperti bambu juga bisa digunakan untuk meredam kebisingan.

Selain menyerap karbon dioksida, beberapa jenis tanaman, seperti cemara laut dan johar, bisa menyerap gas polutan di udara, seperti SO2 (sulfur dioksida) dan timah hitam (Pb).

Sedangkan tanaman yang memiliki bulu daun (trikoma) efektif untuk menyerap debu. Jenis tanaman yang memiliki bulu daun antara lain trengguli, johar, flamboyan, dan bunga lampion. Tanaman ini cocok ditanam di daerah berdebu, seperti kawasan pabrik semen, pinggir jalan, dan lain-lain.

Menurut penelitian, pepohonan di areal seluas 300 x 400 meter mampu menurunkan konsentrasi debu di udara dari 7.000 partikel per liter menjadi 4.000 partikel per liter.

Pilih tanaman

Seleksi tanaman untuk tiap tempat penting dilakukan. Menurut Nurisyah, tanaman yang dipilih harus memiliki toleransi terhadap lingkungan sekitarnya agar bisa bertahan hidup. Di Jakarta, misalnya, butuh tanaman atau pohon yang punya batas toleransi tinggi terhadap CO2 atau Pb. "Pohon seperti manusia, ada yang tahan dan tidak tahan terhadap lingkungan dan kondisi tertentu seperti pencemaran," kata Nurisyah.

Menurut Nurisyah, tanaman yang bandel terhadap polutan adalah jenis kacang-kacangan atau leguminosae, seperti angsana, trembesi, dan akasia. Tanaman jenis kacang-kacangan ini dipakai sebagai tanaman pionir pada lahan yang kurang subur, seperti di Jakarta. Tanah di Jakarta banyak yang kurang subur karena sudah tercemar oli, minyak, dan mengandung banyak puing.

Tanaman pionir ini berfungsi untuk memperbaiki kesuburan tanah. Jika tanah yang ditanami sudah subur, tanaman kacang- kacangan bisa diganti dengan jenis tanaman lain yang diinginkan.

Untuk menurunkan suhu udara di dalam rumah, posisi menanam penting diperhatikan. Tanaman yang ditanam di sisi barat dan timur akan mengurangi terpaan langsung sinar matahari ke dinding rumah. Daun yang rimbun dapat memantulkan, menahan, dan memancarkan energi matahari. Jadi, meskipun lahan sempit, masih banyak cara bisa dilakukan untuk menanam tanaman."

Monday, March 17, 2008

Pay It Forward

Saat terlintas keraguan apakah mungkin perbuatan baik yang kecil dan sederhana yang kita lakukan kepada orang lain akan mampu mempengaruhi kehidupan mereka, mungkin Film "PAY IT FORWARD" bisa menjadi pendorong yang memberikan kita semangat untuk selalu tidak jemu-jemu berbuat baik kepada orang lain.

Kisahnya bercerita tentang seorang anak umur delapan tahun bernama Trevor yang berpikir jika dia melakukan kebaikan kepada tiga orang disekitarnya, lalu jika ke tiga orang tersebut meneruskan kebaikan yang mereka terima itu dengan melakukan kepada tiga orang lainnya dan begitu seterusnya, maka dia yakin bahwa suatu saat nanti dunia ini akan dipenuhi oleh orang-orang yang saling mengasihi.
Dia menamakan ide tersebut: "PAY IT FORWARD"

Singkat cerita, Trevor memutuskan bahwa tiga orang yang akan menjadi bahan eksperimen adalah mamanya sendiri (yang menjadi single parent), seorang pemuda gembel yang selalu dilihatnya dipinggir jalan dan seorang teman sekelas yang selalu diganggu oleh sekelompok anak-anak nakal.

Percobaanpun dimulai :
Trevor melihat bahwa mamanya yang sangat kesepian, tidak punya teman untuk berbagi rasa, telah menjadi pecandu minuman keras. Trevor berusaha menghentikan kecanduan mamanya dengan cara rajin mengosongkan isi botol minuman keras yang ada dirumah mereka, dia juga mengatur rencana supaya mamanya bisa berkencan dengan guru sekolah Trevor.
Sang mama yang melihat perhatian si anak yang begitu besar menjadi terharu, saat sang mama mengucapkan terima kasih, Trevor berpesan kepada mamanya "PAY IT FORWARD, MOM"

Sang mama yang terkesan dengan yang dilakukan Trevor, terdorong untuk meneruskan kebaikan yang telah diterimanya itu dengan pergi ke rumah ibunya (nenek si Trevor), hubungan mereka telah rusak selama bertahun-tahun dan mereka tidak pernah bertegur sapa, kehadiran sang putri untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan diantara mereka membuat nenek Trevor begitu terharu, saat nenek Trevor mengucapkan terima kasih, si anak berpesan :"PAY IT FORWARD,MOM"

Sang nenek yang begitu bahagia karena putrinya mau memaafkan dan menerima dirinya kembali, meneruskan kebaikan tersebut dengan menolong seorang pemuda yang sedang ketakutan karena dikejar segerombolan orang untuk bersembunyi di mobil si nenek, ketika para pengejarnya sudah pergi, si pemuda mengucapkan terima kasih, si nenek berpesan : "PAY IT FORWARD, SON".

Si pemuda yang terkesan dengan kebaikan si nenek, terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan memberikan nomor antriannya di rumah sakit kepada seorang gadis kecil yang sakit parah untuk lebih dulu mendapatkan perawatan, ayah si gadis kecil begitu berterima kasih kepada si pemuda ini, si pemuda berpesan kepada ayah si gadis kecil : "PAY IT FORWARD,
SIR"

Ayah si gadis kecil yang terkesan dengan kebaikan si pemuda, terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan memberikan mobilnya kepada seorang wartawan TV yang mobilnya terkena kecelakaan pada saat sedang meliput suatu acara, saat si wartawan berterima kasih, ayah si gadis berpesan:"PAY IT FORWARD"

Sang wartawan yang begitu terkesan terhadap kebaikan ayah si gadis, bertekad untuk mencari tau dari mana asal muasalnya istilah "PAY IT FORWARD" tersebut, jiwa kewartawanannya mengajak dia untuk menelusuri mundur untuk mencari informasi mulai dari ayah si gadis, pemuda yang memberi antrian nomor rumah sakit, nenek yang memberikan tempat persembunyian, putri si nenek yang mengampuni, sampai kepada si Trevor yang mempunyai ide tersebut.

Terkesan dengan apa yang dilakukan oleh Trevor, Si wartawan mengatur agar Trevor bisa tampil di Televisi supaya banyak orang yang tergugah dengan apa yang telah dilakukan oleh anak kecil ini. Saat kesempatan untuk tampil di Televisi terlaksana, Trevor mengajak semua pemirsa yang sedang melihat acara tersebut untuk BERSEDIA MEMULAI DARI DIRI MEREKA
SENDIRI UNTUK MELAKUKAN KEBAIKAN KEPADA ORANG-ORANG DISEKITAR MEREKA agar dunia ini menjadi dunia yang penuh kasih.

Namun umur Trevor sangat singkat, dia ditusuk pisau saat akan menolong teman sekolahnya yang selalu diganggu oleh para berandalan, selesai penguburan Trevor, betapa terkejutnya sang Mama melihat ribuan orang tidak henti-hentinya datang dan berkumpul di halaman rumahnya sambil meletakkan bunga dan menyalakan lilin tanda ikut berduka cita terhadap kematian Trevor. Trevor sendiripun sampai akhir hayatnya tidak pernah menyadari dampak yang diberikan kepada banyak orang hanya dengan melakukan kebaikan penuh kasih kepada orang lain.

Mungkinkah saat kita terkagum-kagum menikmati kebaikan Tuhan di dalam hidup kita, dan kita bertanya-tanya kepada Tuhan bagaimana cara untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepadaNya, jawaban Tuhan hanya sesederhana ini: "PAY IT FORWARD to OTHERS around YOU (Teruskanlah itu kepada orang lain yang ada disekitarmu)"

(Disadur dari pengusahaonline.blogspot.com)

Friday, March 14, 2008

Sebuah quote

Quote dari salah senior saya di Stapala...

"guwe setuju sama Ossi.. untuk miting ini musti bayar... tapi bayarnya nggak pake duwit.. tapi pake niat...niatnya adalah datang untuk membuat Stapala menjadi lebih baik...jadi niatnya adalah untuk memberi... niatnya adalah untuk orang lain...bukan untuk kepentingan sendiri...niatnya adalah ke arah luar...bukan ke arah dalam...contoh niat yang diinginkan.. .Niat untuk ngasih masukan buat Diklat/Badik. ..mau caci maki ke Diklat/Badik supaya Diklat/Badik jadi makin OK...jadi niatnya bukan untuk belajar berorganisasi. . untuk belajar anu.. belajar ini.. supaya saya jadi lebih baik de es be.. semua niat yang mengarah kepada diri sendiri...nggak boleh... itu bukan anak Stapala...karena di setiap badan anak Stapala itu selalu ada rasa untuk menjadi manfaat.. ..selalu ada api di dadanya... selalu ada Hasrat untuk jadi Hebat...."

Yah...kami sering berantem, kami sering tertawa bareng, kami tak jarang berpeluh bareng, menangis bareng, berbagi makanan dan makan bareng...
Itulah indahnya yang namanya...keluarga...

Thursday, March 13, 2008

Saya sangat iri!!!

Saya sangat iri

Saya sangat iri dengan Abimanyu yang mati karena membela kehormatan keluarganya.
Saya sangat iri dengan Don Corleone yang dapat melihat anak kesayangannya terakhir kali dan tidak menyesali kehidupannya dengan berkata, "Hidup begitu Indah".
Saya sangat iri dengan Kumbakarna yang mati karena membela negaranya.
Saya sangat iri dengan Alexander Supertramp (Christopher Johnson McCandless) yang dapat mati dengan tersenyum.
Saya sangat iri dengan Soe Hok Gie yang dapat mati dengan tetap mempertahankan pemikiran-pemikirannya.
Saya sangat iri dengan Chrisye yang mati dengan meninggalkan puluhan masterpiece.
Saya sangat iri dengan Mohandas Karamchand Gandhi yang mati dengan meninggalkan prinsip yang sangat mulia dan mati dalam keadaan sederhana.

Saya sangat iri dengan Khalid bin Walid yang mendapatkan julukan "Pedang Allah yang terhunus" sampai akhir hayatnya.
Saya sangat iri dengan Hamzah bin Abdul Muthalib yang berkesempatan untuk syahid membela Islam dan Rasulullah.

Saya iri sekali dengan beliau semua, karena mati dengan "caranya" masing-masing. Apakah aku takut mati? Ataukah takut dengan kehidupan setelah mati?? Entahlah...

Masyarakat Mau "Sewa Hutan"

Masyarakat Mau "Sewa Hutan"
Lokasi yang Disewa Akan Dibiarkan Utuh
KOMPAS Kamis, 6 Maret 2008 | 02:12 WIB

Jakarta, Kompas - Sejak Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengumumkan donasi publik untuk menyelamatkan hutan Indonesia, sambutan masyarakat di luar dugaan. Ratusan orang menyatakan komitmen untuk ”menyewa hutan” demi kelestarian. Jumlah mereka yang berminat masih terus bertambah.

Masyarakat, mulai dari penjaja gorengan, ibu rumah tangga, pengacara, pelajar, aktivis LSM, artis, dosen, pengacara, hingga rohaniwan, adalah masyarakat yang memberikan komitmen itu.

Sejumlah nama, seperti artis Franky Sahilatua, agamawan Din Syamsuddin, aktivis hak asasi manusia Usman Hamid, dan pengamat politik Sukardi Rinakit, berada di antara daftar itu.

”Minat menyewa hutan terus bermunculan. Kami akan mendesak pemerintah mengatur mekanismenya agar publik dapat menyewa hutan demi kelestarian,” kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi Chalid Muhammad di Jakarta, Rabu (5/3). Prioritasnya adalah ”menyewa” hutan lindung yang akan ditambang.

Mantan menteri dukung

Pada diskusi publik seputar PP No 2/2008 di Kantor LP3ES, Jakarta, Rabu, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim juga menyerahkan uang Rp 50.000 kepada Manajer Kampanye Hutan Walhi Rully Syumanda. ”Ini simbol penolakan hutan lindung bagi pertambangan terbuka,” katanya.

Senin lalu, massa saat aksi menolak PP No 2/2008 di depan kantor Departemen Keuangan menyerahkan donasi Rp 1.614.000 kepada wakil Menteri Keuangan. Uang itu untuk ”menyewa” hutan lindung seluas 2.690 meter persegi selama dua tahun—karena pada tahun 2009 Presiden RI terpilih didesak harus mencabut PP No 2/2008 itu.

Komitmen muncul menyusul penetapan PP No 2/2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan. Di sana disebutkan tarif dipatok Rp 1,2 juta-Rp 3 juta per hektar per tahun, termasuk untuk kegiatan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung.

Menteri Kehutanan MS Kaban menyebut, PP itu dimaksudkan bagi 13 perusahaan tambang. Namun, PP itu juga mengatur kompensasi pembukaan hutan lindung dan produksi bagi jalan tol, infrastruktur telekomunikasi, industri migas, dan infrastruktur energi terbarukan, serta peruntukan lain.

”PP itu memanipulasi hukum,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi. Dalam PP juga tidak tegas disebutkan 13 perusahaan tersebut. ”Ini bukan soal tarif, tetapi hutan yang sudah rusak harus dipulihkan,” ujarnya.

Cabut sukarela

Pemerhati hukum lingkungan Mas Achmad Santosa menyebutkan, proses keluarnya PP No 2/2008 tidak memenuhi asas peraturan perundang-undangan UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di antaranya, melanggar asas keterbukaan, kejelasan rumusan, dan kedayagunaan.

”Secara sukarela, pemerintah sebaiknya mencabutnya. Tak perlu lewat gugatan hukum,” katanya. Seperti diakui pemerintah, PP ini merupakan hasil negosiasi sejumlah departemen dengan pengusaha.

Rully Syumanda dari Walhi mengatakan, pihaknya akan terus menggalang dukungan publik untuk melindungi hutan dari ancaman kerusakan dengan meminta uji materi.

Terapkan standardisasi

Menanggapi silang pendapat tentang pemanfaatan hutan lindung untuk pertambangan, Bambang Setiadi, Kepala Badan Standarisasi Nasional, menegaskan perlu penerapan standardisasi hutan dan neraca sumber daya hutan. Menurut Bambang, ada standar yang dapat diadopsi untuk diterapkan di Indonesia.

Perhitungan nilai guna secara tidak langsung hutan konservasi yang dilakukan Nugroho dari Institut Pertanian Bogor tahun 2003 menunjukkan, untuk area seluas 158.000 hektar nilai ekonomis yang dapat diraih mencapai lebih dari Rp 33,5 triliun.

Komponen jasa ekosistem hutan yang memberi nilai ekonomi meliputi keteraturan iklim atau cuaca, suplai air, pengendalian erosi, penyusunan formasi tanah, siklus nutrien, pengelolaan limbah, produksi makanan, sumber bahan baku dan genetik, sebagai obyek budaya dan wisata. Juga harus dilihat jumlah penduduk yang bergantung pada keberadaan hutan yang lestari. (GSA/YUN)

Kuasa Tambang dan Rakyat yang Terusir




KOMPAS Kamis, 6 Maret 2008 | 02:40 WIB

Ahmad Arif

Rakyat yang terusir dari tanahnya sendiri dan hutan yang dikeduk habis adalah bentuk nyata dari kuasa tambang yang mencengkeram negeri ini sejak masa kolonial Belanda hingga 63 tahun kemerdekaan. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Hutan kian memperkuat cengkeraman itu.

Indonesia adalah surga bagi perusahaan asing di sektor pertambangan sedari dulu kala. Mazhab ekonomi pertumbuhan, yang dianut sejak era Orde Baru dan sepertinya masih dipertahankan hingga kini, menjamin keleluasaan perusahaan tambang itu.

Mazhab itu terbaca dari alasan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008, sebagaimana disampaikan seorang panelis. ”Kita mendapat tugas untuk memperbesar lagi pendapatan negara dari sektor pertambangan dengan adanya PP ini. Tentunya, hasilnya untuk pembangunan juga,” sebutnya.

Mengutip data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penerimaan negara dari pertambangan umum pada tahun 2007 mencapai Rp 32,3 triliun, sedangkan dari migas sebesar Rp 174 triliun. Angka-angka ini belum termasuk dividen dari BUMN di lingkungan sektor ESDM dan pajak dari pengusahaan sektor ESDM, serta usaha pertambangan yang izinnya diterbitkan oleh daerah.

Pertambangan memang memberi kontribusi kepada pendapatan negara. Akan tetapi, apakah sepadan dibandingkan kerusakan lingkungan yang bersifat permanen dan derita masyarakat sekitar tambang?

Tak dihitung

Hitungan pendapatan negara dari sektor tambang oleh ESDM digugat karena tidak memasukkan nilai kerugian dan biaya pemulihan akibat kerusakan lingkungan. Derita yang dialami oleh masyarakat tempatan sekitar tambang juga tak diperhitungkan.

Penanganan limbah yang di negara asal perusahaan tambang menjadi prioritas utama rencana kerja, di Indonesia dikesampingkan. Limbah bisa dibuang ke sungai yang mengalir hingga halaman rumah warga.

Misalnya, di Timika, Provinsi Papua, sejak tahun 1973 tiap hari 7.257 ton tailing PT Freeport Indonesia (PT FI) dibuang ke Sungai Aikwa yang menjadi sumber kehidupan suku-suku asli. Tahun 1988 tailing yang dibuang menjadi 31.000 ton, dan tahun 2006 melonjak menjadi 223.000 ton per hari.

Kebun sagu suku Kamoro di wilayah Ayuka dan Koperaporka mati. Ikan juga semakin sulit dicari. Ini berarti, kematian tata cara hidup suku peramu.

Di Indonesia, biaya reha- bilitasi lubang pascatambang juga tak dihitung. Lubang- lubang tambang bisa ditinggalkan begitu saja, setelah mineral selesai diekstraksi dari perut Bumi.

Seorang panelis menyebutkan, di Australia biaya untuk memelihara air asam tambang mencapai Rp 360 miliar per tahun. Dan biaya perawatan untuk lubang-lubang tambang yang ditinggalkan sekitar Rp 600 juta per hektar per tahun. Namun, perusahaan-perusahaan tambang dari Australia bisa begitu saja meninggalkan lubang tambangnya di Indonesia.

Pulau Bangka Belitung adalah contoh ekstrem hancurnya ekologi pascatambang. Lebih dari 1.000 lubang bekas tambang dibiarkan terbuka di pulau ini.

Bom waktu

Kehadiran perusahaan tambang asing di Indonesia lebih kerap menampilkan penderitaan dan kemelaratan. Areal kontrak karya perusahaan tambang, yang mencapai ratusan ribu hektar, menggusur aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Penggusuran yang dilegalkan oleh negara.

Jutaan masyarakat tempatan terusir dari tanah ulayat mereka sendiri, begitu ada perusahaan tambang. Salah satu contoh yang kasatmata adalah yang dialami suku Sakai di Riau. Mereka terusir setelah PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) membangun imperium pertambangan minyak dan gas di atas wilayah ulayat mereka.

Pengambilalihan tanah ini sebagian karena dijual sendiri oleh orang Sakai, sebagian diambil begitu saja dengan ganti rugi yang sangat rendah atau bahkan tanpa ganti rugi. Akan tetapi, di atas semua itu sebenarnya semuanya bersumber pada kegagalan negara dalam melindungi warga Sakai sebagai warga asli setempat atau warga tempatan.

Kehadiran perusahaan tambang emas di Kalteng, Kaltim, Sulut, NTB, dan provinsi lain juga telah menempatkan masyarakat lokal yang menambang secara tradisional tiba-tiba saja berubah status menjadi ”penjarah” di tanah mereka sendiri. Padahal, jauh sebelum kedatangan perusahaan tambang besar, mereka sejak lama sudah berusaha di atas tanah adat itu.

Bertahun perlawanan masyarakat lokal hanya menghasilkan kekalahan demi kekalahan. Di sisi lain, kehidupan di dalam kompleks tambang menjadi gemerlap oleh hasil tambang. Kompleks perumahan dan pertokoan untuk karyawan tambang menjadi enclave di tengah kemelaratan warga sekitar.

Lihatlah Bangka Belitung. Setelah 300 tahun penambangan timah di sana, dengan luasan tambang mencapai sepertiga luasan pulau Bangka, kemiskinan tak juga beranjak. Sementara itu, ekologi telanjur hancur.

Lubang-lubang tambang dibiarkan menganga, menjadi sumber penyakit. Pada tahun 2006, 11,5 persen penderita malaria nasional berada di pulau ini. Sejumlah penelitian menyebutkan, penyakit itu bersumber pada lubang-lubang tambang yang ditinggalkan.

Pemiskinan masyarakat di sekitar area tambang adalah potret nyata yang tak bisa diingkari. Misalnya, di daerah konsesi kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI), angka kemiskinan mencapai 35 persen. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat suku Amungme, pemilik gunung-gunung emas dan tembaga, dan suku Kamoro yang tanahnya menampung tailing (limbah penambangan) tak beranjak lebih baik.

Tak hanya kehilangan sumber daya alam, warga lokal pun kehilangan diri sendiri. Suasana berubah drastis setelah penambangan dibuka.

Sebagian masyarakat tradisional dengan cepat mengenal uang, minuman keras, dan lokalisasi. Berapa pun uang yang didapat masyarakat dengan meramu—dari penambangan limbah Freeport—segera ludes dalam semalam.

Virus HIV/AIDS, yang datang bersamaan dengan datangnya lokalisasi, dengan cepat merampas hidup warga. Kasus HIV/ AIDS Papua menduduki posisi nomor dua setelah Jakarta dengan risiko penularan HIV/AIDS nomor satu di Provinsi Papua, lebih tinggi daripada di Ibu Kota. Perbandingan rata-rata kasus di Papua mencapai 60,93 per 100.000 penduduk atau 15,39 kali dibandingkan dengan Jakarta yang rating kasusnya 3,96 per 100.000 penduduk.

Data Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) 2006 juga menunjukkan tingginya kasus HIV/AIDS di Papua. Tercatat, prevalensi HIV pada penduduk umum tanah Papua usia 15-49 tahun mencapai 2,4 persen. Padahal, standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membatasi sampai 1 persen saja.

Dengan adanya PT FI, pendapatan daerah Papua memang termasuk tertinggi di Indonesia. Namun, angka kesejahteraan masyarakat Papua ternyata nomor 29 dari 33 provinsi.

Kerusakan alam akibat pembuangan tailing dan gunung- gunung keramat yang hilang— yang telah meruntuhkan eksistensi adat—juga tak bisa terbayar dengan nilai uang. ”Jadi, kesejahteraan itu sebenarnya buat siapa?” gugat seorang panelis.

Yang Terus Digali Tanpa Batas




KOMPAS Kamis, 6 Maret 2008 | 02:40 WIB

Brigitta Isworo L

Dari sekitar 16.000 pulau di untaian mutu manikam Indonesia, sekitar 2.000 pulau akan tenggelam pada saat permukaan air laut naik akibat pemanasan global. Berita basi. Dimensi ”bencana” sudah menjadi keseharian bagi bangsa ini. Namun, kalkulasi bencana itu belum menyertakan faktor aktivitas pertambangan.

Padahal, bahaya yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan tak kalah dahsyat. Lirik saja kasus lumpur Lapindo yang masih sarat dengan kisah duka.

Bencana akibat aktivitas pertambangan telah banyak dicatat. Korbannya berderet mulai dari Provinsi Riau hingga ke ujung timur di Pulau Papua.

Bencana itu berupa hilangnya sumber penghasilan rakyat yang kini tak lagi dapat menangkap ikan karena tak ada lagi ikan yang dapat hidup di danau yang telah tercemar.

Bencana itu berupa hilangnya hak kepemilikan atas tanah sebab hak tanah mereka—penduduk lokal yang banyak di antaranya adalah suku asli setempat—adalah hanya hak ”di atas permukaan tanah”.

Ketika hak tanah yang diakui negara hanyalah hak di atas permukaan tanah, apa yang terkandung di bawah permukaan tanah kemudian bebas diperjualbelikan oleh negara.

Ketika hak di bawah permukaan tanah sudah dialihkan oleh negara dengan selembar surat kuasa pertambangan (KP) atau izin-izin pertambangan lainnya, kehidupan di atas permukaan tanah menjadi sangat terganggu dan bahkan rusak.

Ketika itulah kehidupan penduduk di kawasan pertambangan mulai tercerabut. Tercerabut mulai dari akar geologis, ekosistem, dan akar sosiologisnya.

Sosok seorang Aleta Ba’un dari Desa Tune, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, bisa menjadi cerminan itu semua. Aleta pada Agustus 2007 menerima penghargaan Anugerah Saparinah Sadli.

Ia adalah Koordinator Oat dan penggiat masyarakat di Timor Barat. Sejak tahun 1993 ia membantu suku adat Molo melindungi sumber daya alam dari pencemaran pertambangan pualam di SoE, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (Kompas, 29/8/2007).

Kekuatan surat KP kadang tak terbayangkan, seperti ketika Aleta diancam akan dibunuh oleh pihak yang merasa dirugikan.

Namun, tidak perlu bicara soal penderitaan warga lokal yang terkena langsung dampak aktivitas ”industri keruk” (pertambangan). Bahkan pemerintah pun mengabaikan kerusakan besar ekosistem secara keseluruhan sebagai akibat dari aktivitas pertambangan.

Perlakuan khas

Seorang panelis dalam diskusi panel Kompas tentang Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 menegaskan, Indonesia yang berbentuk kepulauan memiliki kekhasan dan perlu perlakuan yang khas pula. Luas daratan di setiap pulau terbatas. Daratan ini memiliki kerentanan-kerentanan tertentu yang mestinya mendapatkan perlakuan khusus.

Sebuah keniscayaan, pada sebuah wilayah pulau, kegiatan pengerukan kekayaan tambang di daratan akan juga menghancurkan ekosistem laut atau danau karena limbah tambang yang terbawa air sungai.

Contohnya, Pulau Lembata yang lama dilirik untuk dikeruk kandungan mineralnya (tembaga, timah hitam, seng, emas, perak, dan mangan). Jika mesin keruk diizinkan bekerja, dalam waktu singkat wilayah Lembata akan ”habis” karena kandungan mineral terdapat nyaris di seluruh bagian pulau. Lalu ke mana para pemilik tanah ulayat pergi?

Seperti Lembata, perairan laut tepat berada di pinggir wilayah daratan yang ditambang. Bisa dibayangkan kerusakan lingkungan yang akan terjadi. Ikan paus yang biasa diburu warga Lembata pada ritual pun akan lenyap. Warga adat akan kehilangan jejak dirinya yang selama ini mereka jaga secara turun-temurun.

Contoh lain, Pulau Gag yang kaya akan nikel. Menurut seorang panelis, salah satu perusahaan dari 13 perusahaan—yang dikatakan pemerintah menjadi obyek PP No 2/2008—telah mengavling-kavling pulau yang masuk wilayah Provinsi Papua ini.

Contoh lagi adalah Provinsi Kalimantan Selatan. Dua tahun terakhir tercatat sebuah perubahan ekologis yang signifikan: di sejumlah kabupaten terjadi banjir besar yang parah, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Banjir itu pun terjadi berbarengan, di tujuh kabupaten. Penyebabnya: kegiatan pertambangan di hulu sungai.

Riuhnya bencana

Panelis lain menggarisbawahi, industri ekstraktif seperti pertambangan ini memiliki sejumlah karakter antara lain tidak terbarukan dan rakus lahan—cenderung meluaskan wilayah eksploitasinya.

Dengan perilaku demikian, pada akhirnya sebuah pulau hanya akan menjadi ”gurun” atau sebuah tanah gundul yang riuh dengan ”bencana alam” yang sejatinya adalah ”reaksi alam” atas perilaku manusia terhadap alam.

Ketika kegiatan pertambangan hanya berumur 4-12 tahun, kecuali Freeport Indonesia yang telah 37 tahun mengeksploitasi cadangan terbesar emas Indonesia, penduduk yang sejak dulu tinggal di kawasan itu tetap akan tinggal di sana dengan berbagai kerugian ekologis, bahkan ekosistem, tersebut.

Gali terus

Ketika semua itu terjadi, pertanyaan terbesarnya adalah bagaimana sebenarnya persepsi pemerintah dari pusat hingga daerah terhadap hutan? Mengapa yang dilakukan dan seakan menjadi semacam credo adalah ”Gali terus (tanpa peduli) apa pun harga yang harus dibayar?”

Menarik untuk menyimak jawaban seorang panelis. Dia menyatakan bahwa sudah menjadi kodrat hutan untuk dilihat dengan bermacam-macam cara pandang.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral melihat hutan adalah sesuatu yang mengandung mineral yang harus dieksploitasi habis-habisan.

Departemen Kehutanan memandang hutan adalah sumber kayu, sementara Kementerian Negara Lingkungan Hidup memandang hutan sebagai sesuatu yang harus dilestarikan karena fungsinya bagi kehidupan.

Dengan jawaban itu, jelaslah bahwa hutan rupanya memang dianggap pantas dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan bagi pendapatan negara. Kebetulan yang menonjol justru aktivitas yang justru merugikan secara jangka panjang.

Pemerintah sebagai kumpulan manusia di dalamnya ternyata tidak mampu memandang manusia sebagai keseluruhannya, tidak secara sektoral.

Pemerintah belum mampu memandang manusia dengan berangkat dari kondisi fundamental manusia, yaitu sebagai eksistensi yang menjelma, yang sadar akan dirinya dalam perjumpaannya dengan yang lain dan dengan dunia.

Maka yang terjadi adalah: gali dan gali terus Bumi kita tanpa peduli nantinya di mana ”kita” akan tinggal (?).

Ada satu kutipan menarik, ”Alam tidak tergantung dari manusia, tetapi manusialah yang bergantung pada alam”. Jangan kita lupa....

Menggali Kubur Sendiri


KOMPAS Kamis, 6 Maret 2008

Maria Hartiningsih/Sri Hartati Samhadi

Di negara mana pun, termasuk di negara maju, pertambangan adalah masalah rumit. Di Indonesia, pertambangan timah di wilayah Bangka Belitung merupakan contoh yang paling jelas dari kerumitan itu.

Krisis moneter tahun 1997 yang dibarengi jatuhnya harga berbagai komoditas unggulan lokal, seperti lada dan karet, membuat banyak warga mencari sumber penghidupan lain. Sedikitnya 32.000 petani dalam setahun berubah profesi menjadi penambang di tambang-tambang inkonvensional (TI) atau tambang rakyat tak berizin.

Aktivitas TI marak sejak tahun 2000-an. Awalnya dipicu jatuhnya harga timah di pasar dunia. Potensi galian tambang timah darat dianggap tak ekonomis kalau dikerjakan oleh PT Timah sendiri, karena itu kemudian diserahkan kepada kontraktor lokal (tambang karya/ TK). Namun, kebijakan PT Timah menerapkan target produksi dengan sistem pembelian ditambah bonus produksi memicu TK mengejar bonus dengan menampung hasil galian liar.

Pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis, Bupati Bangka saat itu, Eko Maulana Ali, sekarang Gubernur Provinsi Bangka Belitung, memberikan izin aktivitas penambangan skala kecil.

Data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tahun 2001 memperlihatkan, dari sekitar 70.000-an unit tambang rakyat, yang berizin hanya sekitar 30 persen. Tanpa pengawasan dan pembinaan, TI menjamur dan beroperasi di mana-mana. Yang digunakan tak lagi alat-alat tradisional, tetapi juga peralatan modern seperti eskavator.

Dari aspek ekologis, TI menjadi penyumbang terbesar kerusakan lahan dan hutan yang mencapai 150.000 hektar (data tahun 2006) atau 30 persen luas wilayah hutan Bangka Belitung (Babel). Program kehutanan dan pertanian tidak jalan karena tidak jelasnya alokasi dan penetapan wilayah TI.

Kegiatan TI juga mengakibatkan pencemaran air permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi tandus, kolong-kolong (lubang-lubang menganga bekas penambangan) tak terawat, terjadi abrasi pantai, dan kerusakan cagar akan yang untuk memulihkannya dibutuhkan waktu setidaknya 150 tahun.

Galian timah telah mencemari 15 sungai, 10 di antaranya berada di Pulau Bangka. Pencemaran terus meningkat. Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, 10 tahun lalu terdapat 887 kolong, 789 di antaranya digunakan untuk MCK oleh warga masyarakat. Pada tahun 2006, 11,5 persen dari jumlah penderita malaria secara nasional berada di wilayah itu.

Dampak sosial seperti prostitusi, pencurian, dan masalah kesehatan meningkat, di samping konsumtivisme dan terkikisnya nilai-nilai positif lokal karena terbentuk budaya serba ingin keuntungan instan dalam masyarakat.

Namun, TI adalah lapangan kerja bagi masyarakat dan menghidupkan ekonomi lokal. Lebih dari 70 persen penduduk di setiap desa hidup dari TI. Sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pertambangan di Babel mencapai lebih dari 80 persen, sebagian besar bersumber dari TI. Volume perputaran uang karena TI mencapai Rp 10 miliar per hari.

Keberadaan TI tetap dipelihara karena menghidupi banyak pihak dalam pola hubungan yang saling menguntungkan, mulai dari pemda, politisi, cukong, preman, para penambang, pedagang, hingga pekerja warung remang-remang. Perusahaan konsesi tambang pun diuntungkan. Mereka memanfaatkan TI untuk memenuhi kuota produksi yang tak mampu mereka capai.

Sekitar 75-85 persen produksi PT Timah dan PT Koba Tin, dua perusahaan yang memperoleh izin resmi, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986, yang merupakan operasionalisasi UU No 11/1967 tentang Pertambangan, dipasok oleh TI. Jadi, rakyat bukan penanggung jawab satu-satunya atas kehancuran lingkungan di Babel.

Daya rusak

Situasi lingkungan yang karut-marut di Babel, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, adalah akibat tidak diperhatikannya reklamasi dan penatagunaan lahan pascatambang. Kewajiban reklamasi lahan bekas tambang tak berjalan seperti yang diatur SK Dirjen DJPU No 336.K/271/DDJP/1996 tentang Jaminan Reklamasi.

Namun, ketentuan reklamasi pascatambang di negara mana pun tak ada yang jalan. Bahkan, di AS, baru 500 pertambangan yang teridentifikasi dari 12.000 tambang yang ditinggalkan.

Melalui Bureau of Land Management (BLM), setiap tahun Pemerintah AS membuat program Abandoned Mine Lands (AML) yang setiap tahunnya membutuhkan dana setara dengan Rp 90 miliar-Rp 120 miliar untuk memastikan pertambangan yang ditinggalkan itu tidak berbahaya bagi manusia dan makhluk hidup di sekitarnya. Pemerintah AS juga ditekan warga untuk mengganti UU Pertambangan yang usianya lebih dari 120 tahun.

Di banyak negara, perizinan baru pertambangan tidak lagi dikeluarkan karena, meskipun dipromosikan menggunakan ”kerangka kerja pertambangan yang berkelanjutan”, pada kenyataannya kegiatan pertambangan memiliki daya rusak yang luar biasa terhadap kondisi sumber daya alam vital yang lain, khususnya air dan tanah.

Pemerintah di berbagai negara mulai menyadari bahwa izin pertambangan yang dikeluarkan tak bisa selalu dikontrol. Dengan teknologi mutakhir, jumlah deposit tambang yang tereksplotasi semakin besar dan wilayah yang bisa dieksplorasi semakin luas. Aktivitas pertambangan kerap memasuki wilayah hutan, kawasan tangkapan air, dan pegunungan, khususnya di wilayah milik suku asli dan masyarakat adat, yang dalam banyak kasus mereka selalu dikalahkan.

Eskalasi proyek-proyek pertambangan besar tahun-tahun terakhir ini sangat mencemaskan. Korporasi Trans-Nasional di bidang pertambangan secara agresif menyerbu wilayah-wilayah Selatan yang kaya mineral. Negara-negara Selatan harus membuka wilayahnya kepada investor asing karena desakan lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan multilateral.

Kita tidak tahu apakah PP No 2/2008 semata-mata terkait dengan Keppres No 41/2004, atau ada desakan lain, atau bahkan seluruh peraturan dalam rezim deforestasi ini dibuat karena adanya desakan langsung mau pun tak langsung dari pihak luar.

Apa pun di balik itu, seharusnya diingat bahwa kegiatan pertambangan hanya memberi keuntungan jangka pendek. Cadangan mineral akan habis, dan lingkungan luluh lantak. Itulah kuburan yang digali sendiri oleh manusia.

Wednesday, March 12, 2008

Bersepeda Kembali

Serasa semakin tua ketika kaki-kaki ini mengayuh pedal sepeda menuju 23 km di depan mata. Fiuuh...napas pun terhembus dengan cepatnya, ngos-ngosan maksudnya. Sepanjang jalan Kampus (Bintaro) ke Veteran terasa sangat menyiksa. Itulah kalau sudah jarang lagi bersepeda. Seolah otot paha menjerit minta ampun, terasa panas.
Sesampainya di Veteran, mata melihat jam tangan. 15 menit sudah berlalu rupanya dan mata pun terbelalak demi melihat kemacetan yang luar biasa menuju Tanah Kusir. Sepeda pun meliuk-liuk di antara keriuhan kendaraan dan jeritan klakson. Dan akhirnya menyerah juga melewati jalanan. Sepeda pun berganti trek ke trotoar yang sempit dan penuh pohon. Kembali meliuk-liuk di antara pepohonan.
Selepas Tanah Kusir, untuk melepas penat mengambil rute ke kiri, memasuki perumahan dan menembus jalan Arteri. Naudzubillah..masih juga macet, padahal sudah ada underpass. Sepeda pun semakin pelan melaju, waktu pun semakin kejam bergerak. Dan akhirnya setelah berada di bawah flyover Kebayoran Lama, ambil keputusan melawan arus menuju Apartemen Pakubuwono dan menembus jalan utama menuju rute busway.
Kendaraan bermotor yang melintas seolah semakin kejam. Tanpa perasaan dengan seenaknya melepaskan gas buangan. Udara semakin menghitam, upaya mengambil napas semakin menyiksa. Beruntunglah sedikit terkurangi dengan masker yang kupakai. Biasanya ketika nyampe bundaran Pakubuwono, sepeda langsung goyang ke kanan mengambil jalur cepat, demi menghindari kendaraan umum dan motor-motor yang beringas. Namun entah kenapa, sepeda malahan dengan malasnya beralih ke kiri, ke jalur lambat. Alamat buruk!!! Berjuang untuk tidak terserempet kendaraan dan menguatkan hati untuk sabar tidak marah. Astaga...beratnya...
Memasuki terowongan Semanggi, jadi teringat peristiwa lampau. Ketika bersama Imam bersepeda ke kantor lewat jalur cepat. Sekali itu dihentikan oleh polisi (yang kata teman-teman bike to worker dianggap kurang kerjaan). Dimarah-marahilah kami, dianggap menghambat laju mobil lah. Kok ya bisa, wong kami mengambil lajur yang paling kiri banget, melaju di atas marka jalan batas tepi sebelah kiri. Kami rasa tidak mengganggu sama sekali. Tapi wong namanya dimarahi, ya diem saja lah. Nrimo...hehehehe. Selepas dimarahi pun..teuteup...lanjuut. Lamunan masa lampau buyar demi melaui jalan berliku di sepanjang terowongan semanggi, bener-bener musti dibenerin tuwh. Parah banget rusaknya. Itu karena kendaraan yang melintas sangat banyak dan aspal terlalu sering terkena air, karena drainase yang kurang baik. Mana sering ada pohon tumbang pula. Beeeeh....
Selepas patung Jenderal Besar Sudirman, yang tiada mau menurunkan tangannya, yang setiap hari menghormat kepada kendaraan yang melaju dengan angkuhnya tanpa peduli, semangat menyala lagi karena sebentar lagi akan sampai di kantor, yaah...sebentaaar lagi...
Bodohnya, ketika hendak berbelok ke kanan di bundaran Monas, ternyata jalanan ramai sangat. Hati pun merutuk karena musti mengambil jalan memutar. Sialnya, ada satpam musium (atau Dephan ya?) yang iseng niup peluit ke arahku. Bah...apa kagak tau klo ambil lajur kanan berarti hendak berbelok ke kanan? Mentang-mentang pake sepedakah?? Ah...entahlah..teuteup lanjuuut...
Berhubung ini kali pertama naik sepeda ke kantor selepas types menyerang, biarlah kalau nyampe di kantor jam 07.42 WIB, langsung setor jempol. Semoga Jum'at besok bisa berangkat jam 5.45, bukan jam 6.15 seperti tadi. Huuhuuhu...
Segarnya...mandi...

Dan kerjaanpun mulai kuhajar satu demi satu. Sampai jam ini baru bisa posting....kakakakakakak...
Bring it on babe...

Tuesday, March 11, 2008

You Are What You think

Written by: Mia Amalia

(karyawan di perusahaan operator telekomunikasi)

Di suatu pagi yang cerah, dalam ruang kelas pengembangan diri, trainer mengajak para peserta untuk menyebutkan 10 keberhasilan diri dalam 12 jam terakhir. Para peserta berpikir keras..keberhasilan apa ya? semua terasa berjalan apa adanya, tak ada yang istimewa. Kemudian si trainer mulai bercerita tentang keberhasilannya sendiri, antara lain berhasil tidur nyenyak dan berhasil bangun pagi tanpa di bantu waker. Satu per satu peserta mulai berani dan yakin untuk berbagi cerita keberhasilan, dari keberhasilan menyiapkan sarapan keluarga di tengah kesibukan pagi, melalui kemacetan lalu lintas dengan sabar hingga berhasil sampai ke kelas tepat waktu.

***

Kita cenderung melihat suatu keberhasilan sebagai sesuatu hal menakjubkan dan di luar kebiasaan, berhasil lulus sekolah dengan nilai sempurna, masuk perguran tinggi bergengsi, diterima bekerja di perusahaan terkemuka, dan sebagainya, apalagi hingga mendapat decakan kagum dan tepukan tangan. Seringkali kisah hidup ‘bahagia’ seperti itu menjadikan kita luput memperhatikan kisah-kisah sederhana, dan kita mengabaikan dan membiarkannya berlalu tanpa mendapat sedikitpun catatan kebaikan di hati dan pikiran kita. Sesungguhnya jika kita mampu menghargai dan mengambil hikmahnya, dapat menjadi motivasi diri untuk menyambut hari dengan semangat dan energi baru. Tidaklah salah kata pepatah, seribu langkah dimulai dari satu langkah. Catatlah kebaikan dan keberhasilan di hari ini dan jadikan motivasi untuk mencapai kebaikan dan keberhasilan di hari-hari berikutnya.

Menghargai diri sendiri

Mengambil hikmah di setiap peristiwa, meskipun peristiwa tersebut sangat sederhana dapat melatih diri untuk mensyukuri nikmat kehidupan dan memetik sedikit demi sedikit potensi dan kekuatan diri. Kita tidak dapat memaksakan orang lain untuk menghargai kita jika tidak didahului oleh keyakinan diri bahwa kita memiliki potensi dan kekuatan diri dan kita adalah pribadi yang berharga.

Menghargai diri sendiri adalah wujud dari pengenalan diri. Perenungan untuk mengenal diri lebih mendalam tidak terjadi dalam satu waktu, namun dilakukan berkelanjutan sehingga menghasilkan manfaat dan seterusnya menghantarkan kepada sebuah kesimpulan yang benar. Oleh karena itulah maka seseorang harus berfikir positif dan yakin bahwa Tuhan tidak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia.

Pengenalan diri dan penghargaan diri adalah kajian klasik dan universal, dan turut menjadi inspirasi bagi musisi, salah satunya tertuang dalam lirik lagu Greatest Love of All yang akrab di telinga kita “…..Because the greatest love of all is happening to me, I found the greatest love of all inside of me.The greatest love of all, is easy to achieve.. learning to love yourself, it is the greatest love of all ”.

Wujud penghargaan pada diri sendiri adalah dengan memaknai hidup dan menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sekitar. Beberapa tahun silam, di suatu akhir tahun ajaran pendidikan dasar, ketika mengisi buku kenangan menjadi suatu kebiasaan, seringkali pada bagian cita-cita tertulis ingin menjadi orang yang berguna bagi orang tua, bangsa dan agama. Seiring berjalannya waktu dan tempaan kehidupan, cita-cita yang begitu mulia yang ditulis dengan ketulusan dan kepolosan, terkikis oleh keinginan dan harapan lain yang bisa jadi lebih berorientasi pada diri sendiri. Tak ada salahnya kita menoleh sejenak ke belakang dan mereview perjalanan hidup kita untuk menggarisbawahi peristiwa-peristiwa bermakna, dan menjadi motivasi untuk melangkah dan menatap masa depan.

Mengisi kehidupan

Ada suatu kisah tentang kegiatan seorang guru dan beberapa muridnya. Guru tersebut mengambil sebuah ember, kemudian memasukkan beberapa butir batu yang cukup besar hingga mencapai bibir ember. Kemudian ia bertanya, “sudah penuhkan ember ini?” Para murid menjawab “sudah”, kemudian sang guru memasukkan batu-batu kerikil dan mengguncangkan ember tersebut hingga butiran kerikil berjatuhan ke dasar ember dan mengisi celah-celah batu besar. Kemudian sang guru bertanya kembali, “sudah penuhkan ember ini?” Para murid terdiam, dan seorang murid menjawab “ mungkin belum”. Lalu sang guru mengeluarkan satu plastik pasir dan mulai memasukkannya ke dalam ember. Butiran kecil pasir menyusup di antara celah-celah kerikil dan batu hingga mengisi ruang dari dasar ember hingga permukaan ember. Setelah itu sang guru mengambil air dan menuangkan perlahan-lahan ke dalam ember, hingga ember menjadi benar-benar penuh.

Itulah kehidupan. Isilah hidup ini dengan tujuan dan prioritas hidup yang diibaratkan dengan batu besar. Kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang lebih praktis yang diibaratkan dengan batu kerikil, pasir dan air. Jangan dilakukan sebaliknya, karena jika demikian, hidup ini hanya dipenuhi kerikil-kerikil masalah tanpa ada tujuan dan prioritas, karena batu-batu besar akan sulit masuk saat ember sudah dipenuhi kerikil, pasir atau bahkan air.

Hanya kita yang dapar mengukur ‘ember kehidupan’ kita masing-masing. Apakah sudah cukup terisi dan membuat hidup kita lebih bermakna, sehingga kita dapat berjalan tegak di muka bumi dan memberi arti bagi sekitar kita? Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

***

Saya bertanya pada diri sendiri, keberhasilan apa yang telah kucapai belakangan ini. Setelah mengingat-ingat, dari sekian banyak kesempatan dan kenikmatan yang diberikan aku bersyukur telah bertemu dan mengenal teman-teman baru di suatu kegiatan, bercerita sebelum tidur pada si buah hati, membalas sms rekan yang tertunda, merapikan meja kerja, dan berbagi cerita melalui tulisan ini.

Yogyakarta, Jogja, Jogjakarta, atau Yogya?

Banyak orang menyebut Yogyakarta dengan nama berbeda-beda. Orang-orang tua menyebut Ngayogyakarta, orang-orang Jawa Timur dan Jawa Tengah menyebut Yogja atau Yojo, disebut Jogja dalam slogan “Jogja Never Ending Asia”, dan baru-baru ini muncul sebutan baru, yaitu Djokdja. Membingungkan memang, tapi sebutan-sebutan tersebut menunjuk pada satu daerah yang sama. Mengapa sebutan nama kota ini bisa begitu bervariasi? Mari kita ulas sejenak.
Ada 3 perkembangan nama yang bisa diuraikan. Nama Ngayogyakarta dipastikan muncul tahun 1755, ketika Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kraton yang berdiri di Alas Bering itu merupakan wujud Perjanjian Giyanti yang dilakukan dengan Pakubuwono III dari Surakarta.
Tak jelas kapan mulai muncul penamaan Yogyakarta, apakah muncul karena pemenggalan dari nama Ngayogyakarta atau sebab lain. Namun, nama Yogyakarta secara resmi telah dipakai sejak awal kemerdekaan Indonesia. Ketika menjadi ibukota Indonesia pada tahun 1949, kota yang juga bergelar kota pelajar ini sudah disebut Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX juga menggunakan nama Yogyakarta ketika mengumumkan bahwa kerajaan ini merupakan bagian dari Republik Indonesia.

Berbagai penamaan muncul kemudian, seperti Yogja, Jogja, Jogya dan Yogya. Bisa dikatakan bahwa variasi nama itu muncul akibat pelafalan yang berbeda-beda antar orang dari berbagai daerah di Indonesia. Uniknya, hampir semua orang bisa memahami tempat yang ditunjuk meski cara pengucapannya berbeda.

Karena kepentingan bisnis, nama Jogja kemudian menguat dan digunakan dalam slogan Jogja Never Ending Asia. Slogan tersebut dibuat untuk membangun citra Yogyakarta sebagai kota wisata yang kaya akan pesona alam dan budaya. Alasan dipilih ‘Jogja’ adalah karena (diasumsikan) lebih mudah dilafalkan oleh banyak orang, termasuk para wisatawan asing. Sempat pula berbagai institusi mengganti Yogyakarta dengan Jogjakarta.

YogYES.COM memakai nama Djokdja dalam rubrik Tour de Djokdja. Nama itu bukanlah rekayasa, melainkan pernah digunakan pada masa kolonial Belanda. Terbukti, saat itu terdapat sebuah hotel yang bernama Grand Hotel de Djokdja di ujung utara jalan Malioboro. Kini, hotel itu masih tetap berdiri namun berganti nama menjadi Inna Garuda. Nama ‘Djokdja’ dipilih untuk memberi kesan kuno dan mengajak para pembaca bernostaligia.

Dengan berbagai lafal dan cara penulisannya, bisa dikatakan Yogyakarta merupakan daerah yang paling banyak memiliki variasi nama. Jakarta hanya memiliki satu (Jayakarta), sementara Bali tidak memilikinya sama sekali. Kota wisata lain di dunia seperti Bangkok, Singapura, Cartagena, Venesia bahkan tak terdengar memiliki nama-nama variasi. Kota-kota metropolitan seperti New York, Los Angeles, dan London juga tidak mempunyai nama lain.

Kini anda tak perlu bingung lagi jika kebetulan ada orang yang menuliskan kota Yogyakarta seperti caranya melafalkan. Jika mencari tahu tentang seluk beluk kota ini di internet, nama Yogyakarta merupakan yang paling tepat sebab merupakan nama yang paling umum digunakan dalam bahasa tulisan. Alternatif lainnya, anda bisa menggunakan nama Jogja, nama kedua yang paling sering digunakan.

Naskah: Yunanto Wiji Utomo disunting secukupnya oleh Iyok
YogYES.COM