Thursday, March 13, 2008

Kuasa Tambang dan Rakyat yang Terusir




KOMPAS Kamis, 6 Maret 2008 | 02:40 WIB

Ahmad Arif

Rakyat yang terusir dari tanahnya sendiri dan hutan yang dikeduk habis adalah bentuk nyata dari kuasa tambang yang mencengkeram negeri ini sejak masa kolonial Belanda hingga 63 tahun kemerdekaan. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Hutan kian memperkuat cengkeraman itu.

Indonesia adalah surga bagi perusahaan asing di sektor pertambangan sedari dulu kala. Mazhab ekonomi pertumbuhan, yang dianut sejak era Orde Baru dan sepertinya masih dipertahankan hingga kini, menjamin keleluasaan perusahaan tambang itu.

Mazhab itu terbaca dari alasan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008, sebagaimana disampaikan seorang panelis. ”Kita mendapat tugas untuk memperbesar lagi pendapatan negara dari sektor pertambangan dengan adanya PP ini. Tentunya, hasilnya untuk pembangunan juga,” sebutnya.

Mengutip data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penerimaan negara dari pertambangan umum pada tahun 2007 mencapai Rp 32,3 triliun, sedangkan dari migas sebesar Rp 174 triliun. Angka-angka ini belum termasuk dividen dari BUMN di lingkungan sektor ESDM dan pajak dari pengusahaan sektor ESDM, serta usaha pertambangan yang izinnya diterbitkan oleh daerah.

Pertambangan memang memberi kontribusi kepada pendapatan negara. Akan tetapi, apakah sepadan dibandingkan kerusakan lingkungan yang bersifat permanen dan derita masyarakat sekitar tambang?

Tak dihitung

Hitungan pendapatan negara dari sektor tambang oleh ESDM digugat karena tidak memasukkan nilai kerugian dan biaya pemulihan akibat kerusakan lingkungan. Derita yang dialami oleh masyarakat tempatan sekitar tambang juga tak diperhitungkan.

Penanganan limbah yang di negara asal perusahaan tambang menjadi prioritas utama rencana kerja, di Indonesia dikesampingkan. Limbah bisa dibuang ke sungai yang mengalir hingga halaman rumah warga.

Misalnya, di Timika, Provinsi Papua, sejak tahun 1973 tiap hari 7.257 ton tailing PT Freeport Indonesia (PT FI) dibuang ke Sungai Aikwa yang menjadi sumber kehidupan suku-suku asli. Tahun 1988 tailing yang dibuang menjadi 31.000 ton, dan tahun 2006 melonjak menjadi 223.000 ton per hari.

Kebun sagu suku Kamoro di wilayah Ayuka dan Koperaporka mati. Ikan juga semakin sulit dicari. Ini berarti, kematian tata cara hidup suku peramu.

Di Indonesia, biaya reha- bilitasi lubang pascatambang juga tak dihitung. Lubang- lubang tambang bisa ditinggalkan begitu saja, setelah mineral selesai diekstraksi dari perut Bumi.

Seorang panelis menyebutkan, di Australia biaya untuk memelihara air asam tambang mencapai Rp 360 miliar per tahun. Dan biaya perawatan untuk lubang-lubang tambang yang ditinggalkan sekitar Rp 600 juta per hektar per tahun. Namun, perusahaan-perusahaan tambang dari Australia bisa begitu saja meninggalkan lubang tambangnya di Indonesia.

Pulau Bangka Belitung adalah contoh ekstrem hancurnya ekologi pascatambang. Lebih dari 1.000 lubang bekas tambang dibiarkan terbuka di pulau ini.

Bom waktu

Kehadiran perusahaan tambang asing di Indonesia lebih kerap menampilkan penderitaan dan kemelaratan. Areal kontrak karya perusahaan tambang, yang mencapai ratusan ribu hektar, menggusur aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Penggusuran yang dilegalkan oleh negara.

Jutaan masyarakat tempatan terusir dari tanah ulayat mereka sendiri, begitu ada perusahaan tambang. Salah satu contoh yang kasatmata adalah yang dialami suku Sakai di Riau. Mereka terusir setelah PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) membangun imperium pertambangan minyak dan gas di atas wilayah ulayat mereka.

Pengambilalihan tanah ini sebagian karena dijual sendiri oleh orang Sakai, sebagian diambil begitu saja dengan ganti rugi yang sangat rendah atau bahkan tanpa ganti rugi. Akan tetapi, di atas semua itu sebenarnya semuanya bersumber pada kegagalan negara dalam melindungi warga Sakai sebagai warga asli setempat atau warga tempatan.

Kehadiran perusahaan tambang emas di Kalteng, Kaltim, Sulut, NTB, dan provinsi lain juga telah menempatkan masyarakat lokal yang menambang secara tradisional tiba-tiba saja berubah status menjadi ”penjarah” di tanah mereka sendiri. Padahal, jauh sebelum kedatangan perusahaan tambang besar, mereka sejak lama sudah berusaha di atas tanah adat itu.

Bertahun perlawanan masyarakat lokal hanya menghasilkan kekalahan demi kekalahan. Di sisi lain, kehidupan di dalam kompleks tambang menjadi gemerlap oleh hasil tambang. Kompleks perumahan dan pertokoan untuk karyawan tambang menjadi enclave di tengah kemelaratan warga sekitar.

Lihatlah Bangka Belitung. Setelah 300 tahun penambangan timah di sana, dengan luasan tambang mencapai sepertiga luasan pulau Bangka, kemiskinan tak juga beranjak. Sementara itu, ekologi telanjur hancur.

Lubang-lubang tambang dibiarkan menganga, menjadi sumber penyakit. Pada tahun 2006, 11,5 persen penderita malaria nasional berada di pulau ini. Sejumlah penelitian menyebutkan, penyakit itu bersumber pada lubang-lubang tambang yang ditinggalkan.

Pemiskinan masyarakat di sekitar area tambang adalah potret nyata yang tak bisa diingkari. Misalnya, di daerah konsesi kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI), angka kemiskinan mencapai 35 persen. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat suku Amungme, pemilik gunung-gunung emas dan tembaga, dan suku Kamoro yang tanahnya menampung tailing (limbah penambangan) tak beranjak lebih baik.

Tak hanya kehilangan sumber daya alam, warga lokal pun kehilangan diri sendiri. Suasana berubah drastis setelah penambangan dibuka.

Sebagian masyarakat tradisional dengan cepat mengenal uang, minuman keras, dan lokalisasi. Berapa pun uang yang didapat masyarakat dengan meramu—dari penambangan limbah Freeport—segera ludes dalam semalam.

Virus HIV/AIDS, yang datang bersamaan dengan datangnya lokalisasi, dengan cepat merampas hidup warga. Kasus HIV/ AIDS Papua menduduki posisi nomor dua setelah Jakarta dengan risiko penularan HIV/AIDS nomor satu di Provinsi Papua, lebih tinggi daripada di Ibu Kota. Perbandingan rata-rata kasus di Papua mencapai 60,93 per 100.000 penduduk atau 15,39 kali dibandingkan dengan Jakarta yang rating kasusnya 3,96 per 100.000 penduduk.

Data Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) 2006 juga menunjukkan tingginya kasus HIV/AIDS di Papua. Tercatat, prevalensi HIV pada penduduk umum tanah Papua usia 15-49 tahun mencapai 2,4 persen. Padahal, standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membatasi sampai 1 persen saja.

Dengan adanya PT FI, pendapatan daerah Papua memang termasuk tertinggi di Indonesia. Namun, angka kesejahteraan masyarakat Papua ternyata nomor 29 dari 33 provinsi.

Kerusakan alam akibat pembuangan tailing dan gunung- gunung keramat yang hilang— yang telah meruntuhkan eksistensi adat—juga tak bisa terbayar dengan nilai uang. ”Jadi, kesejahteraan itu sebenarnya buat siapa?” gugat seorang panelis.

No comments: